Senin, 18 Januari 2016

Serat Kalatidha ( Jaman yang penuh Keragu-raguan)


Raden Ngabehi Ranggawarsita, Lahir pada tanggal 15 Maret 1802 dengan nama kecil Bagus Burham. Beliau meninggal dunia pada tanggal  24 Desember 1873, dalam usia 71 tahun, dimakamkan di desa Palar, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Serat Kalatidha karya R Ngabehi Ranggawarsita bukanlah ramalan seperti Jangka Jayabaya. Serat Kalatidha adalah serat yang berisi falsafah atau ajaran hidup R.Ngabehi Ranggawarsita. “Kala” berarti jaman dan “Tidha” adalah ragu. Berarti jaman penuh keraguan. Walau demikian banyak yang memberi pengertian “Kalatidha adalah jaman edan” mengambil makna dari bait ke tujuh serat ini. Bait ini menggambarkan situasi “edan” saat itu. Serat yang terdiri dari 12 pada (bait) tembang Sinom ini ditulis kira-kira tahun 1860an. Kita tidak mengalami era itu, tetapi melalui Ranggawarsita kita bisa membayangkan bahwa saat itu jaman sudah edan.
Konon Serat ini ditulis saat Ranggawarsita sedang dirundung kekecewaan sebab pangkatnya tidak dinaikkan seperti rencana semula. Tentunya ada sebab-sebab yang melatarbelakangi mengapa Sunan Solo membatalkan rencananya. Belum tentu karena Ranggawarsita kurang baik reputasi dan prestasinya. Tetapi hal seperti itu bisa saja terjadi dan sampai jaman sekarang pun masih terjadi. Kelebihan Serat Kalatidha bagi saya adalah, Ranggawarsita tidak berhenti pada kekecewaan, tetapi mengungkapkan pula bagaimana beliau mengelola stressnya. Sekaligus hal ini merupakan “pepeling” bagi kita, generasi-generasi setelah surutnya beliau.
Ada yang membagi syair Serat Kalatidha dalam tiga bagian. Bagian pertama adalah “pada” (bait) ke 1 sd 6 yang merupakan kondisi tanpa prinsip, bagian kedua adalah “pada” (bait) ke tujuh  yang berisi tekad manusia untuk mawas diri, sedangkan bagian ke tiga adalah “pada” (bait) ke 8 sd 12 yang berisi ketaatan kita pada ajaran agama. Selanjutnya marilah  kita tengok bait perbait dari Serat Kalatidha yang kesohor ini. Semuanya dalam tembang “Sinom”.
serat Kalatidha
BAIT PERTAMA: ANALISIS SITUASI
Mangkya darajating praja; Kawuryan wus sunyaruri; Rurah pangrehing ukara; Karana tanpa palupi; Atilar silastuti; Sujana sarjana kelu; Kalulun kala tidha; Tidhem tandhaning dumadi; Ardayengrat dene karoban rubeda
Makna dari bait pertama ini kurang lebih sebagai berikut: Keadaan negara yang demikian merosot karena tidak ada lagi yang memberi tauladan (karana tanpa palupi).Banyak yang meninggalkan norma-norma kehidupan (atilar silastuti). Para cerdik pandai terbawa arus jaman yang penuh keragu-raguan (sujana sarjana kelu; kalulun ing kalatidha). Suasana mencekam karena dunia sudah penuh masalah.
Pada bait pertama ini kelihatan bahwa ki Pujangga mencoba melakukan analisis situasi mengapa masalah ini terjadi. Yang di atas tidak memberikan tauladan, semua orang meninggalkan norma, para cerdik-cendekiawan terbawa arus keraguan.
BAIT KE DUA: PENGARUH JAMAN
Ratune ratu utama; Patihe patih linuwih; Pra nayaka tyas raharja; Panekare becik-becik; Parandene tan dadi; Paliyasing Kala Bendu; Mandar mangkin andadra; Rubeda angrebedi; Beda-beda ardaning wong saknegara
Makna dari bait ke dua kurang lebih sebagai berikut: (Sebenarnya) baik raja, patih, pimpinan lainnya dan para pemuka masyarakat, semuanya baik. Tetapi tidak menghasilkan kebaikan (Parandene tan dadi). Hal ini karena kekuatan jaman Kala bendu. Malah semakin menjadi-jadi. Masalah semakin banyak. Pendapat orang sat negara pun berbeda-beda (beda-beda ardaning wong sak nagara).
Pada bait ke dua ini tokoh kita menjadi geleng-geleng kepala, bingung. Mengapa mesti terjadi dan semakin menjadi-jadi padahal pimpinan dari atas ke bawah, termasuk tokoh informalnya semua baik. Mungkin karena pengaruh jaman yang dinamakan “Jaman kalabendhu”.
BAIT KE TIGA: KEKECEWAAN
Katetangi tangisira; Sira sang paramengkawi; Kawileting tyas duhkita; Katamen ing ren wirangi; Dening upaya sandi; Sumaruna angrawung; Mangimur manuhara; Met pamrih melik pakolih; Temah suhha ing karsa tanpa wiweka
Makna dari bait ke tiga kurang lebih sebagai berikut: Hati rasanya menangis penuh kesedihan karena dipermalukan (baris 1 sd 4). Karena perbuatan seseorang yang seolah memberi harapan (baris 5-7). Karena ada pamrih untuk mendapatkan sesuatu (met pamrih melik pakolih, baris 8). Karena terlalu gembira sang Pujangga kehilangan kewaspadaan (baris 9)
Pada bait ke tiga ini Ranggawarsita mulai kecewa dan menyesal. Kegembiraannya menghilangkan kewaspadaan. Ia lena dengan mulut manis seolah memberi harapan dan ia sendiri memang ingin mendapatkan sesuatu. Akhirnya menjadi sedih karena dipermalukan. Disini ada kesadaran dalam kekecewaan, bahwa “melik nggendong lali” yang tergambar dalam met pamrih pakolih, temah suh-ha ing karsa tanpa weweka”.
BAIT KE EMPAT: PENGAKUAN KALAU LUPA
Dasar karoban pawarta; Bebaratun ujar lamis; Pinudya dadya pangarsa; Wekasan malah kawuri; Yan pinikir sayekti; Mundhak apa aneng ngayun; Andhedher kaluputan; Siniraman banyu lali; Lamun tuwuh dadi kekembanging beka
Makna dari bait ke empat kurang lebih sebagai berikut: Karena terlalu banyak kabar angin yang beredar (dasar karoban pawarta; bebaratun ujar lamis). Akan diposisikan sebagai pimpinan tetapi akhirnya malah di taruh di belakang dan dilupakan (baris 3 dan 4). (sebenarnya) kalau direnungkan, apa manfaatnya menjadi pimpinan (kalau) hanya menebar benih kesalahan, (lebih-lebih) bila disiram air “lupa” hasilnya hanyalah berbunga kesusahan (baris 5 sd 9)
Pada bait ke empat ini Ranggawarsita mengungkapka bahwa ia terlalu GR dengan kabar angin bahwa ia akan dijadikan “pangarsa”, pimpinan. Ketika kemudian harapannya ternyata hilang (Pinudya dadi pangarsa; wekasan malah kawuri) , ia mencoba menghibur diri dengan mengungkapkan: Untuk apa jadi pemimpin kalau hanya menanam kesalahan yang disiram dengan air lupa. Bunga yang dipetik hanyalah “masalah”.
BAIT KE LIMA: LEBIH BAIK MENULIS BUKU
Ujaring panitisastra; Awewarah asung peling; Ing jaman keneng musibat; Wong ambeg jatmika kontit; Mengkono yen niteni; Pedah apa amituhu; Pawarta lolawara; Mundhuk angreranta ati; Angurbaya angiket cariteng kuna
Makna dari bait ke lima kurang lebih sebagai berikut: Menurut para ahli sastra, sebenarnya sudah ada peringatan bahwa di jaman yang penuh musibah ini orang yang berbudi akan ditinggalkan (baris 1 sd 4). Demikian pula kalau kita perhatikan, apa manfaatnya percaya pada desas-desus. Lebih baik menulis kisah-kisah lama (baris 5 sd 9)
Pada bait ke lima ini R Ngabehi Ranggawarsita mencoba mencari makna lain dari kehidupan dengan lebih banyak menulis cerita: “angurbaya angiket  cariteng kuna”. Sebuah pelarian, mungkin. Tetapi sekarang pun terjadi seperti itu, menulis buku.
BAIT KE ENAM: TAKDIR
Keni kinarta darsana; Panglimbang ala lan becik; Sayekti akeh kewala; Lelakon kang dadi tamsil; Masalahing ngaurip; Wahaninira tinemu; Temahan anarima; Mupus pepesthening takdir; Puluh-puluh anglakoni kaelokan
Makna dari bait ke enam kurang lebih sebagai berikut: Kisah ini dapatnya dijadikan cermin dalam menimbang hal-hal yang baik dan yang buruk. Sebenarnya banyak kisah lama yang dapat dijadikan contoh, mengenai masalah-masalah dalam kehidupan (baris 1 sd 5). Setelah ketemu akhirnya bisa “nrima” dan berserah diri pada kehendak takdir atas hal-hal elok yang terjadi (baris 6 sd 9)
Pada bait ke enam ini, Karena tidak menemukan sebab-sebab yang pasti (diungkapkan sebagai “kaelokan”) akhirnya  R. Ngabehi Ranggawarsita mengambil kesimpulan bahwa hal tersebut memang sudah takdir Tuhan. Dengan demikian selesailah bagian pertama dari Serat kalatidha dimana beliau menyerahkan kepada kebijaksanaan Tuhan dengan “mupus pepestening takdir”.
BAIT KE TUJUH: JAMAN EDAN
Bait ke tuju inilah bagian ke dua dari Serat Kalatidha. Bait yang paling populer, cukup banyak yang hapal lengkap satu “pada” (bait) atau hanya hapal dua baris terakhir: “begja-begjane kang lali; luwih beja kang eling lawan waspada”. Orang sekarang yang tidak tahu bait ke satu sampai dengan enam bisa menganggap sebagai ramalan. Sekali lagi ini bukan ramalan, ini kritik jaman pada abad ke 19 yang ternyata masih dipakai pada abad ke 21. Bukan prediksi untuk abad ke 21.
Bait ke 7 selengkapnya adalah sebagai berikut:
Amenangi jaman edan; Ewuh aya ing pambudi; Milu edan nora tahan; Yen tan milu anglakoni; Boya kaduman melik; Kaliren wekasanipun; Ndilalah karsa Allah; Begja-begjane kang lali; Luwih begja kang eling lawan waspada
Makna dari bait ke tujuh adalah sebagai berikut: Mengalami hidup pada jaman edan; memang serba repot; Mau ikut ngedan hati tidak sampai; Kalau tidak mengikuti; Tidak kebagian apa-apa; akhirnya malah kelaparan; namun sudah menjadi kehendak Allah; Bagaimanapun beruntungnya orang yang “lupa”; Masih lebih beruntung orang yang “ingat” dan “waspada”
Pada bait ke tujuh ini, ki Pujangga mengungkap dilema kehidupan pada jaman edan. Dilema pada orang yang ragu-ragu tentunya. Mau ikut gila hati masih belum sampai, tetapi kalau tidak ikut ngedan bisa kelaparan. Dan lagi-lagi kehebatan Ranggawarsita, beliau tidak sekedar memasalahkan masalah, namun memberi peringatan sekaligus solusi: “Eling” lan “Waspada”. “Eling” berarti ingat pada Tuhan. Tuhan tidak pernah tidur, Tuhan adalah Maha Mengawasi. Disamping “Eling” juga “Waspada” kepada manusia lainnya karena diantara manusia ada yang mempunyai kelakuan suka menjerumuskan orang lain.
Dalam bahasa “Management Strategis” saya menganggap “Eling dan waspada” adalah “Critical Success Factor” yang harus dijabarkan dalam Visi, Misi, Strategi dan Langkah-langkah bila kita tidak ingin terbelenggu dan ragu dalam jaman edan. Demikianlah bait ke tujuh sekaligus bagian ke dua dari Serat Kalatidha: “Eling lan waspada”
BAIT KE DELAPAN: MERASA TUA
Semono iku bebasan; Padu-padune kepengin; Enggih mekoten man Doblang; Bener ingkang angarani; Nanging sajroning batin; Sejatine nyamut-nyamut; Wis tuwa arep apa
Muhung mahas ing asepi; Supayantuk pangaksamaning Hyang Suksma
Makna dari bait ke delapan adalah sebagai berikut: Hal itu sebenarnya karena ada keinginan. Begitu kan paman Doblang? (baris ke 1 sd 3). Kalau ada yang mengatakan begitu, memang benar. Tetapi dalam hati memang susah juga. Sekarang sudah tua, mau mencari apa lagi. Lebih baik menyepi agar mendapat ampunan Tuhan (baris 4 sd 9).
Pada bait ke delapan ini R. Ngabehi Ranggawarsita mulai merasa tua, mulai memikirkan kematian. Merasa banyak dosa ditambah menyadari kematian maka ki Pujangga berupaya mencari pengampunan dosanya. “Menyepi” adalah ungkapan Jawa untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Jangan dibayangkan sebagai semacam menjauhkan diri dari kehidupan dengan  bertapa di goa-goa. Inilah “wis tuwa arep apa, muhung mahas ing asepi, supayantuk parimarmaning Hyang Suksma”.
BAIT KE SEMBILAN: ALLAH MEMBERI PERTOLONGAN, MANUSIA IKHTIAR
Beda lan kang wus santosa; Kinarilah ing Hyang Widhi; Satiba malanganeya; Tan susah ngupaya kasil; Saking mangunah prapti; Pangeran paring pitulung; Marga samaning titah
Rupa sabarang pakolih; Parandene maksih taberi ikhtiyar
Makna dari bait ke sembilan adalah: Lain dengan yang sudah sentausa. Mendapatkan rahmat Allah. Nasibnya selalu baik. Tidak sulit upayanya. Selalu memperoleh hasil. Tuhan selalu memberi pertolongan. Memberi jalan semua ummatnya. Sehingga memperoleh semuanya. Tetapi manusia tetaplah berikhtiar.
Pada bait ke sembilan ini Ranggawarsita menekankan pentingnya ikhtiar. Beliau memberi contoh orang-orang yang berhasil karena dirahmati Allah.
BAIT KE SEPULUH: IKHTIAR DAN RAHMAT ALLAH
Sakadare linakonan; Mung tumindak mara ati; Angger tan dadi prakara; Karana riwayat muni; Ikhtiyar iku yekti; Pamilihing reh rahayu; Sinambi budidaya; Kanthi awas lawan eling
Kanti kaesthi antuka parmaning Suksma
Makna dari bait ke sepuluh adalah: Kita laksanakan, apapun, sekedarnya. Perbuatan yang menyenangkan dan tidak menimbulkan masalah. Karena sudah dikatakan, manusia wajib ikhtiar. Melalui jalan yang benar. Sembari berikhtiar tersebut, manusia harus terap awas dan ingat supaya mendapatkan rahmat Tuhan.
Pada bait ke sepuluh: “ikhtiar iku yekti, pamilihing reh rahayu, sinambi budi daya, kanthi awas lawan eling, kang kaesthi antuka marmaning Suksma. Kembali kata ikhtiar dan “Eling” diulang dalam upaya kita mendapatkan rahmat Allah. Ikhtiar yang kita lakukan adalah ikhtiar di jalan yang benar. Bait ke sepuluh adalah penekanan bait ke sembilan.
BAIT KE SEBELAS: SEMAKIN MENDEKATKAN DIRI KEPADA ALLAH
Ya Allah ya Rasulullah; Kang sipat murah lan asih; Mugi-mugi aparinga; Pitulung ingkang martani; Ing alam awal akhir; Dumununging gesang ulun; Mangkya sampun awredha
Ing wekasan kadi pundi; Mula mugi wontena pitulung Tuwan
Makna dari bait ke sebelas adalah: Ya Allah, ya Rasulullah yang bersifat pemurah dan pengasih. Kiranya berkenan memberi pertolongan dalam alam awal dan akhir dalam kehidupan saya (baris 1 sd 6). Sekarang hamba sudah tua. Akhir nanti seperti apa, kiranya mendapatkan pertolongan Allah (baris 7 sd 9)
Pada bait ke sebelas ini Ranggawarsita merasa waktunya untuk “pulang” menghadap Sang Maha Pencipta sudah semakin dekat. Ia harus semakin mendekatkan diri. Hanya Allah yang akan menyelamatkannya di kehidupan akhirat nanti.
BAIT KE DUABELAS: MOHON AMPUNAN ALLAH
Sageda sabar santosa; Mati sajroning ngaurip; Kalis ing reh aruraha; Murka angkara sumingkir; Tarlen meleng malat sih; Sanistyaseng tyas mematuh; Badharing sapudhendha
Antuk mayar sawetawis; BoRONG angGA saWARga meSI marTAya
Makna dari bait ke duabelas adalah: kiranya saya mampu sabar dan sentausa. Mati dalam hidup. Terbebas dari semua kerepotan. Angkara murka menyingkir (baris 1 sd 4). Saya hanya memohon karunia kepadaMu, guna mendapat ampunan, diberi sekedar keringanan. Hamba serahkan jiwa dan raga hamba (baris 5 sd 9)..
Pada bait ke duabelas ini Ranggawarsita sampai pada puncak pendekatannya kepada Tuhan yang diungkapkan dalam “mati sajroning urip”. Mati dalam hidup bukanlah orang yang sudah lepas sama sekali dari dunia padahal kakinya masih menginjak bumi, bukan pula pelarian karena pelarian tidak akan memberikan apa-apa. Sekali lagi, “mati sajroning urip bukanlah pengasingan diri orang yang lari” .
Demikianlah bait ke delapan sd duabelas yang merupakan bagian ketiga dan terakhir Serat Kalatidha yang intinya “Kembali kepada Allah” melalui “mati sajroning urip
PENUTUP
R Ngabehi Ranggawarsita melalui kekecewaan dan pengalaman hidupnya dalam sebuah karya yang sampai sekarang tetap kesohor “Serat Kalatidha” yang bertujuan memberi peringatan kepada kita agar senantiasa “Eling” kepada Allah dan “Waspada” kepada manusia dan kehidupan manusia. Beliau tidak pernah menganjurkan orang jadi pemberontak, melainkan manusia hendaknya percaya kepada “Takdir”. Takdir yang dilandasi dengan “Ikhtiar” di jalan yang benar. Setelah ikhtiar maka semuanya dikembalikan ke Takdir.
R Ngabehi Ranggawarsita menyadari kehendak Allah yang kadang sulit diterima akal manusia. Namun beliau yakit bahwa Allah akan menolong orang-orang yang “eling lawan waspada”. Orang yang “eling dan waspada” tidak akan terombang-ambing dalam riak gelombang “Kalatidha”. Tidak akan frustasi, neurosis atau bahkan menjadi schizophereni.
Sebagai karya seni yang menulis tentang manusia dan kehidupannya ternyata karya ini tidak lapuk oleh jaman. Baris terakhir bait terakhir Serat Kalatidha yang terjemahan bebasnya adalah “Hamba serahkan jiwa dan raga (kepada Allah) ditulis dalam sebuah “sandhiasma” yang menunjukkan nama penulisnya: BoRONG angGA saWARga meSI marTAya (IwM).


kapethik saking iwanmuljono.blogspot.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar